Mungkin warga Purwokerto banyak yang belum tahu/baca artikel ini, ini aku copas dari:  http://politik.kompasiana.com

Selamat membaca ya……….

Perpindahan Ibu Kota, Suatu Keharusan atau Wacana?

Wacana untuk memindahkan ibu kota negara telah berulangkali muncul, yakni ketika timbul kejadian kritis akibat faktor sosial, ekonomi, politik, lingkungan, dan bencana. Ibu kota negara mempunyai fungsi sentral bagi pemimpin negara didalam melaksanakan tugas kenegaraan. Kondisi yang aman, nyaman, dan kondusif merupakan bagian penting dalam memikirkan dan mengkoordinasikan jalannya pemerintahan. Harapan agar negara dan bangsa dapat maju sejajar dengan negara maju lainnya, rakyatnya cerdas dan sejahtera secara berkeadilan.

Ibu kota negara menjadi simbol suatu negara untuk menunjukkan jati diri dan harga diri suatu bangsa dan negara. Kondisi umum yang mencitrakan Jakarta sebagai ibu kota negara adalah tata ruangnya yang semrawut, banyak terjadi kemacetan lalu lintas, tingginya ketimpangan sosial ekonomi, tata guna lahan tumpang tindih, terjadi pencemaran udara dan air, dan sering dilanda bencana banjir. Kondisi umum tersebut memunculkan beberapa pertanyaan: masih layakkah Jakarta sebagai ibu kota negara? perpindahan ibu kota suatu keharusan atau wacana? Tulisan ini mencoba mendiskusikan solusi pertanyaan tersebut dari sudut pandang geografis. Untuk mendiskusikan kelayakan Jakarta sebagai ibu kota negara digunakan pendekatan keruangan, ekologis, dan kewilayahan. Dari hasil diskusi terungkap bahwa Jakarta kurang layak sebagai ibu kota negara. Perpindahan ibu kota menjadi suatu keharusan dan bukan lagi sebagai wacana. Beberapa alternatif lokasi untuk memindahkan ibu kota negara memang pernah diwacanakan, namun masih diperlukan kajian yang lebih mendalam untuk menentukan dimana dan kapan realisasi pemindahannya.
Pendahuluan

Sepengetahuan penulis, sejak memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) belum pernah mendirikan kota sebagai ibu kota negara atau ibu kota nasional. Kota-kota besar yang sekarang menjadi ibu kota negara dan ibu kota provinsi, kesemuanya atau sebagian besar merupakan peninggalan kolonialisme Belanda. Hal tersebut sangat berbeda dengan jaman kejayaan kerajaan-kerajaan di nusantara dahulu, dimana sebelum terjadi penjajahan, hampir semua kerajaan mempunyai dan membangun ibu kota (kota raja). Sebagai contoh adalah Majapahit yang mempunyai peninggalan situs Trowulan, yang sampai saat ini dianggap sebagai pusat pemerintahannya oleh para ahli. Berikutnya Mataram dengan Ngayogyokarto (Yogyakarta) sebagai pusat pemerintahannya. Perpindahan pusat pemerintahan pada jaman kerajaan sering terjadi. Apabila suatu kerajaan tertimpa bencana, pusat kerajaan harus dipindahkan karena anggapan terkena kutukan dewa. Pergantian raja pun sering diikuti dengan perpindahan pusat pemerintahan, apalagi jika pergantiannya melalui perebutan kekuasaan.

Bagaimana halnya dengan NKRI? Tampaknya para pemimpin NKRI diawal kemerdekaan mempunyai filsafat ‘tiada rotan akarpun jadi’ dan narimo. Dalam arti bahwa daripada membangun ibu kota baru dan istana negara baru, lebih baik memanfaatkan saja apa yang ada, yakni memanfaatkan bekas kantor gubernur penjajah sebagai istana kenegaraan. Kondisi tersebut dapat dimaklumi karena negara yang baru saja merdeka dan terjajah selama lebih dari tiga abad belum mempunyai kemampuan untuk membangun. Setelah merdeka selama hampir 62 tahun, niat untuk mendirikan istana negara dan ibu kota NKRI hasil karya anak bangsa setelah memperoleh kemerdekaan belum juga muncul. Mungkin saja para pemimpin kita telah menikmati kemewahan yang ditinggalkan oleh penjajah dan disibukkan pula untuk memikirkan kedudukan dan golongannya, sehingga kurang memikirkan kesemestaan NKRI ini.

Pemindahan ibu kota negara telah dilakukan oleh banyak negara dengan alasan yang berbeda-beda. Contoh berikut memberikan gambaran bahwa pemindahan ibu kota negara itu tidak tabu. Terlebih lagi jika dilakukan dengan tujuan untuk memecahkan permasalahan menuju ke perbaikan dan kemajuan bangsa dan negara.
1. Ibu kota Brasil terletak di pedalaman karena ibu kota lama Rio de Jenairo sudah terlalu padat.
2. Pada tahun 2004, pemerintah Korea Selatan memindahkan ibu kotanya dari Seoul ke Sejong, meskipun Seoul (dalam bahasa Korea) berarti ibu kota.
3. Ibu kota tradisional secara ekonomi memudar oleh kota pesaingnya, seperti yang terjadi di Nanjing oleh pesaingnya yaitu Shanghai.
4. Menurunnya suatu dinasti atau budaya dapat juga karena ibu kota yang telah ada mati atau pudar atau kalah pamor seperti di Babilon dan Cahokia.

Selain pemindahan ibu kota negara, terdapat juga pemindahan sebagian dari kekuasaan pemerintah. Berikut ini beberapa contoh alternatif pemecahan masalah yang terkait dengan ibu kota negara.
1. Bolivia; meskipun Succre masih tetap menjadi ibu kota konstitusional, namun pusat pemerintahan nasional telah ditinggalkan dan beralih ke La Paz.
2. Chili; Santiago masih dianggap sebagai ibu kota, meskipun Kongres Nasionalnya diadakan di Valparaiso.
3. Belanda; Amsterdam tetaplah ibu kota nasional konsitusional, meskipun pemerintahan Belanda, parlemen, dan istana ratu semuanya terletak di Den Haag.
4. Afrika Selatan; beribu kota administratif di Pretoria, ibu kota legislatifnya di Cape Town, sedangkan ibu kota judisialnya di Bloemfontein (Wikipedia, 2007).

Pemindahan sebagian kekuasaan pemerintah di NKRI sangat dimungkinkan karena di dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia dan Amandemennya tidak diatur secara tegas. Dalam Bab II ayat (2) UUD NKRI tertulis: Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibu kota negara. Dalam UUD tersebut tidak ada pasal yang menyebutkan dimana dan bagaimana ibu kota negara diatur. Dengan demikian, terdapat fleksibilitas yang tinggi dalam mengatur termasuk memindah ibu kota negara. Dalam pemindahan ibu kota negara, tentu saja diperlukan alasan yang kuat dan mendasar tentang efektifitas fungsinya.
Arti dan Fungsi Suatu Ibu Kota Negara

Ibu kota (a capital; capital city; political capital) adalah kota utama yang diasosiasikan dengan pemerintahan suatu negara; secara fisik difungsikan sebagai kantor pusat dan tempat pertemuan dari pimpinan pemerintahan dan ditentukan berdasarkan hukum. Asal katanya dari bahasa Latin caput yang berarti kepala (head) dan terkait dengan kata capitol yang terkait dengan bangunan dimana pusat pemerintahan utama dilakukan.

Menurut sejarahnya, ibu kota sebagai pusat ekonomi utama dari suatu wilayah sering menjadi titik pusat dari kekuatan politik, kemudian menjadi suatu ibu kota melalui suatu penaklukan atau penggabungan. Ibu kota secara alamiah mempunyai daya tarik politik dan kepegawaian yang diperlukan untuk efisiensi administrasi pemerintahan, seperti: ahli hukum, jurnalis, dan peneliti kebijakan publik. Ibu kota adalah pusat ekonomi, budaya, dan atau pusat intelektual. Ibu kota menjadi simbol bagi negara dan pemerintahannya, serta sebagai tempat berkembangnya muatan politik. Kota-kota di abad pertengahan menunjukkan bahwa pemilihan, relokasi, dan pendirian dari suatu ibu kota modern dilandasi pertimbangan emosional. Contoh-contoh berikut menggambarkan hal ini.
1. Athena yang hancur dan hampir tak berpenduduk dijadikan ibu kota baru bagi Yunani sebagai simbol kejayaan masa lalu. Hal yang juga mirip adalah Perang Dingin dan Reunifikasi Jerman, dimana Berlin kembali dijadikan sebagai ibu kota Jerman.
2. Suatu relokasi simbolik dari ibu kota ke lokasi peri-geografis dan demografis dengan alasan ekonomi atau strategi (sering disebut ibu kota masa depan atau ibu kota pelopor). Peter I dari Rusia memindahkan pemerintahan dari Moskow ke St. Petersburg untuk menunjukkan kebesaran Rusia kepada dunia barat.
3. Kemal Ataturk memindahkan pusat pemerintahan dari Ottoman Istambul ke Ankara.
4. Kaisar Ming memindahkan ibu kota dari Nanjing ke Beijing untuk menjauhi serbuan bangsa Mongols dan Manchus.

Ibu kota mempunyai fungsi stratejik, selalu menjadi target utama dalam peperangan karena dengan menguasai ibu kota biasanya menjadi jaminan menguasai sebagian besar musuh atau penentang. Paling tidak sudah berhasil memerosotkan moral untuk mengalahkan musuh (militer). Hal ini terjadi di China masa lalu, dimana pemerintahan tersentralisir dengan sedikit fleksibilitas pada tingkat provinsi. Suatu dinasti dapat runtuh dengan ambruknya ibu kota. Oleh sebab itu, Dinasti Ming memindahkan Ibu kota Nanjing ke Beijing dengan alasan agar dapat mengontrol musuh yang berasal dari Mongols dan Manchus.

Ada pandangan lain berkaitan dengan fungsi stratejik suatu ibu kota negara, yaitu bahwa ibu kota negara kurang penting sebagai sasaran militer. Hal ini disebabkan karena pusat pemerintahan dapat dipindahkan ke tempat lain. Sebagai contoh, tentara Inggris yang berulangkali menyerang beberapa ibu kota Amerika pada waktu Perang Revolusi dan perang tahun 1812; tentara Amerika tetap dapat bertempur dari luar kota, dimana mereka mendapatkan dukungan dari pemerintah setempat dan penduduk sipil di perbatasan. Perkecualian adalah Perancis, yang birokrasinya terpusat namun tetap dapat terkordinisasi secara efektif dan terdukung oleh sumberdaya yang sangat luas. Negara Perancis sangat kuat melebihi pesaingnya, tetapi berisiko tinggi jika ibu kota diduduki musuh terutama dalam kaitan dengan strategi militernya. Ancaman tradisional dari Perancis adalah Jerman yang terfokus untuk menguasai Paris. Hal serupa juga terjadi di Indonesia, ketika Jakarta jatuh oleh tentara Belanda sewaktu perang revolusi, ibu kota negara pernah berpindah ke Yogyakarta dan ke Bukit Tinggi. Dengan demikian pemerintahan tetap berjalan, sehingga NKRI tetap berdiri dengan melakukan perang gerilya untuk mempertahankan kemerdekaan.
Kondisi Jakarta sebagai Ibu Kota

Menurut sejarah, kota Jakarta berawal dari pekan pelabuhan kecil yang dikenal sebagai Sunda Kelapa, yang kemudian menjadi Kota Batavia. Seorang pengembara Inggris terkenal, Kapten James Cook mengatakan bahwa pelabuhan di situ adalah kawasan labuhan kapal besar dan kecil terbaik di dunia saat itu. Kota yang telah berumur hampir 500 tahun tersebut telah mengalami perkembangan yang cepat dan sering terlanda banjir. Dalam catatan sejarah, pada tahun 1872 akibat meluapnya Sungai Ciliwung menjebolkan pintu air dan merendam kawasan Batavia. Kejadian serupa muncul pada 9 Januari 1932, hujan yang turun lebat sepanjang malam menyebabkan hampir semua wilayah kota Batavia terendam dan Jalan Sabang tercatat sebagai yang terparah. Upaya penanggulangan banjir Jakarta sebenarnya telah diusahakan, seperti pada masa pemerintahan Belanda tahun 1920 ketika seorang insinyur Belanda, Van Breen memimpin pembangunan saluran (banjir kanal) dan sejumlah pintu air. Semuanya untuk mengakomodasi air yang datang.

Masalah banjir Jakarta memang sulit diatasi tanpa ada suatu usaha menyeluruh dan terpadu. Amblesan tanah akibat penurapan airtanah yang berlebih menjadi salah satu penyebab daerah menjadi sasaran banjir. Secara alami, Jakarta memang rawan terhadap banjir karena terletak pada kipas aluvial yang berkembang dari Selatan (Bogor) dan dialiri oleh 13 sungai dengan daerah hulunya bercurah hujan tinggi, yang sebagian lahannya telah terbangun. Faktor alami lainnya adalah di bagian Utara terdapat beting gisik (beach ridges) yang dapat menghambat aliran ke laut Teluk Jakarta. Sebenarnya pada beting gisik itupun terdapat cekungan antar beting yang dapat berfungsi sebagai penampung air, namun itupun sudah terbangun. Demikian juga sebagian besar situ-situ yang berfungsi sebagai penampung dan pengendali air hujan lokal itupun sudah menjadi lahan permukiman.

Hampir setiap tahun terjadi banjir yang besarnya bervariasi. Banjir yang terjadi pada tahun 2007 merupakan yang terbesar, hampir mencakup 70% wilayah Jakarta. Akibat banjir 2007 tersebut menimbulkan pemikiran atau gagasan untuk memindahkan Ibu Kota Jakarta. Banjir dijadikan salah satu pemicu ide untuk memindahkan ibu kota. Gagasan untuk memindahkan ibu kota negara telah mengemuka dalam berbagai kesempatan, antara lain tanggal 20 Mei 1988 ketika berlangsung gerakan reformasi. Waktu itu kondisi Jakarta sangat mengkhawatirkan sehingga muncul gagasan spontan, agar Yogya untuk menerima kembali fungsi ibu kota pemerintahan. Pemikiran untuk memindahkan ibu kota negara juga datang dari Ketua DPR Agung Laksono dengan argumentasi sedikit berbeda, dan menyatakan bahwa Jakarta sudah saatnya kantor presiden yang menjadi pusat pengendali pemerintahan dipindahkan ke tempat yang lebih kondusif. Jakarta saat ini dinilai sudah kelebihan beban, baik secara ekonomi maupun sosial, sehingga Jakarta sudah bersifat multi fungsi. Ibu kota negara yang mempunyai multi fungsi umumnya akan menimbulkan berbagai dampak.
Dampak Multi Fungsi dari Jakarta

Multi fungsi Jakarta merupakan dampak dari sistem pemerintahan sentralistis dan sistem multi fungsi yang memusat di Jakarta. Akibatnya sejumlah dampak sosial, politik, ekonomi dan ekologi menjadi beban Jakarta, berikut dampak yang dimaksud (Baiquni, 2004).
1. Pemerintahan sentralitis yang dikendalikan secara otoriter dan serba seragam telah mengabaikan kemajemukan sosial budaya masyarakat dan keseragaman ekosistem wilayah negara kepulauan. Sistem kekuasaan yang memusat, membuat sistem pemerintahan daerah kehilangan kemandirian dan fungsi birokrasi tidak dapat berkembang melayani dan memfasilitasi partisipasi masyarakat, tetapi lebih melayani atasan atau pimpinan elitenya.
2. Kedekatan sumber pusat pemerintahan dan pusat ekonomi yang mengerucut pada elite dan hampir tanpa kontrol dari rakyat secara konstitusional maupun publik menyebabkan mewabahnya korupsi, kolusi, dan nepotisme.
3. Pemusatan fungsi tersebut akhirnya membawa beban bagi Jakarta yang ditandai dengan ledakan jumlah penduduk, kemacetan lalu lintas, kesenjangan ekonomi, kerawanan sosial, kekerasan, dan kejahatan.
4. Permasalahan tersebut diikuti krisis ekologi, yang berupa pencemaran udara, pencemaran airtanah, air bersih, banjir rutin, tata ruang yang semrawut, munculnya kawasan kumuh, dan lingkungan hidup yang kurang nyaman.
5. Konflik mudah terjadi antara kepentingan ekonomi dan ekologi, kepentingan sesaat dan jangka panjang, kepentingan elit dan masyarakat.
Berdasarkan kondisi Jakarta dan berbagai dampak tersebut perlu dipertanyakan, masih layakkah Jakarta sebagai ibu kota negara dan apakah pemindahan ibu kota sebagai suatu keharusan atau sekedar wacana.

Pemindahan Ibu Kota Suatu Keharusan atau Wacana

Analisis garis besar aspek keruangan, ekologis, dan kewilayahan; serta dampak sosial, ekonomi, dan politik menghasilkan suatu pemikiran bahwa: (i) pemindahan ibu kota merupakan suatu keharusan, tetapi dengan tenggang waktu dan seharusnya tidak sebagai wacana lagi; (ii) ibu kota negara tetap di Jakarta tetapi pemindahan beberapa departemen dan pusat-pusat kegiatan dialihkan ke luar Jakarta. Argumentasi dari masing-masing pemikiran adalah sebagai berikut.

Secara keruangan Jakarta sudah terlalu padat penduduk, sebagai pusat pemerintahan, perdagangan, perindustrian, pariwisata dan tata ruangnya semrawut, pemanfaatan lahan yang saling kontradiktif banyak terjadi. Pembangunan fisik terus dipacu tanpa arah yang jelas. Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) yang sedemikan bagus disusun Bang Ali (1966-1977) dengan mudahnya dapat berubah, sehingga banyak peruntukan kota yang dilanggar. Banyak situ-situ yang berfungsi sebagai penampung air hilang menjadi perumahan. Program kali bersih (prokasih) macet total. Tiga belas sungai yang membelah kota ini tetap menjadi kubangan sampah. Rencana Induk 1965-1985 tidak berkelanjutan pada Rencana Induk 1985-2005, sangat dimungkinkan banyak campur tangan pihak pengusaha, terutama developer dengan para pejabat Pemda Jakarta. Kemacetan lalu lintas setiap saat, dan banjir yang setiap tahun terjadi menunjukkan bahwa tata ruang kurang memperhatikan karakteristik lahan serta kurang mengakomodasikan kepentingan masyarakat. Secara keruangan, Jakarta sebagai ibu kota negara tidak mungkin menampung datangnya urbanit di masa depan. Jakarta mempunyai daya tarik bagi penduduk di luar Jakarta dan bahkan dari manca negara karena lapangan pekerjaan terpusat dan sebagian besar uang beredar disana. Urbanisasi yang terus-menerus dan urbanit yang kurang ketrampilan dan pendidikan akan menjadi tambahan beban bagi Jakarta. Urbanisasi dapat dicegah dengan cara memeratakan lapangan kerja dengan membangun pusat pertumbuhan di wilayah lain.

Secara ekologis, sebagian besar wilayah Jakarta telah mengalami degradasi kualitas lingkungannya, dengan indikator banjir, pencemaran udara, pencemaran air, pembuangan limbah cair/padat, dan pencemaran sosial. Banjir yang menggenangi 70% wilayah Jakarta memberikan kerugian yang sangat besar. Hasil pembangunan yang memerlukan biaya yang tinggi dan waktu lama terkadang rusak atau hilang dalam waktu yang singkat. Sanitasi lingkungan menjadi lebih buruk akibat banjir, sehingga banyak penyakit yang mewabah. Ledakan demam berdarah di Jakarta merupakan bukti bahwa sanitasi lingkungan kurang memadai. Momentum banjir Jakarta tahun 2007 perlu dijadikan pemikiran dan perencanaan untuk memindahkan ibu kota Jakarta karena umumnya bencana alam itu cepat dilupakan.

Secara kewilayahan, Jakarta sudah amat padat penduduk dan syarat dengan fasilitas, sedangkan di luar Jakarta, baik di Jawa maupun luar Jawa masih tersedia wilayah yang memungkinkan untuk pengembangan. Tersedianya jaringan transportasi yang baik memungkinkan kelancaran arus manusia, informasi, dan jasa antar wilayah. Dengan demikian tidak ada alasan dalam koordinasi antar pejabat dan negara dan antar departemen, seandainya terjadi pemisahan antara pimpinan negara dengan menteri atau lembaga. Ditinjau dari stratejik dalam menghadapi situasi kritis (perang), pusat kekuasaan negara yang tersentralisir mempunyai risiko tinggi. Jika ibu kota negara sebagai pusat kekuasaan negara jatuh, maka akan berakibat buruk terhadap keberlangsungan suatu negara.

Uraian di atas menyatakan bahwa pemindahan ibu kota merupakan suatu keharusan, tetapi dengan tenggang waktu. Tenggang waktu diperlukan untuk memperoleh legal formal, menjaring pendapat, menyusun program, memilih lokasi yang sesuai, menyusun rencana, dan membangunnya. Pemindahan ibu kota tidak seperti membalik telapak tangan karena perlu pemikiran yang mendalam.

Alternatif kedua, ibu kota negara tetap di Jakarta dengan pemindahan beberapa departemen dan pusat-pusat kegiatan ekonomi dan pembangunan ke luar Jakarta, dengan tujuan mengurangi beban Jakarta. Alternatif ini tampaknya lebih banyak menghadapi kesulitan dibandingkan dengan alternatif pertama. Beban Jakarta memang berkurang, tetapi tidak berarti sudah meniadakan permasalahan karena banjir tetaplah menjadi ancaman. Apalagi jika pemindahan pusat kegiatan diarahkan ke selatan Jakarta. Banjir akan semakin meningkat bila tidak diikuti dengan usaha konservasi lahan di bagian atas. Kejadian banjir di Jakarta tidak meliputi seluruh wilayahnya, masih ada sebagian yang tidak terkena. Bagi penduduk yang tinggal di daerah yang tidak terkena banjir tentunya tidak sependapat apabila ibu kota negara dipindahkan, dan menghendaki tetap dipertahankan. Apabila dasar pemikirannya sempit dan jangka pendek maka alternatif ke dua yang dipilih. Namun dalam pemikiran yang lebih luas dan jangka panjang bahwa Indonesia dengan potensi sumberdaya alamnya yang melimpah dan sumberdaya manusia yang cukup besar akan menjadi negara yang besar dan kuat, maka alternatif pemindahan ibu kota ke dua menjadi lemah.
Alternatif Penentuan Ibu Kota Negara

Jajak pendapat terhadap karyasiswa Program S2 Geografi menghasilkan pandangan bahwa ibu kota negara perlu dipindahkan. Banyak alternatif yang disampaikan meskipun belum disertai dengan argumentasi yang matang. Daerah yang diusulkan untuk dipilih sebagai pemindahan ibu kota negara adalah tetap di P. Jawa, di luar Jakarta, Kalimantan, dan Sumatra. Sebelum menentukan alternatif untuk menentukan pilihan lokasi pemindahan ibu kota negara, terlebih dahulu perlu dicari rumusan ibu kota negara yang ideal. Penelusuran pustaka tentang syarat ibu kota negara yang ideal belum ditemukan. Berdasarkan pemikiran geografis ibu kota negara yang ideal harus mempertimbangkan aspek spasial, ekologis, dan kewilayahan; maka perlu antara lain adalah: tersedia lahan yang sesuai, aman, nyaman, lingkungan sehat, bebas dari bahaya dan bencana, aksesibilitas dan arus informasi memadai, ketersediaan lahan untuk perwakilan negara sahabat (kedutaan), ketersediaan air bersih, fasilitas umum, fasilitas kesehatan, masyarakat sekitar kondusif dan tidak menimbulkan ketimpangan antara wilayah. Berdasarkan rumusan tersebut kemudian dikaitkan dengan kondisi geografis Indonesia untuk menentukan alternatif lokasi sebagai calon ibu kota negara.

Beberapa pandangan tentang alternatif pemindahan ibu kota negara yang muncul pada periode Mei 1998 (gerakan reformasi) adalah Yogyakarta, Magelang, Purwokerto, Malang, dan Kalimantan Tengah (Baiquni, 2004). Beberapa alternatif lokasi tersebut mempunyai keunggulan dan kelemahan. Yogyakarta memiliki keunggulan pernah menjadi ibu kota negara dan berfungsi dengan baik. Fasilitas transportasi sudah tersedia, yaitu Bandara Adi Sutjipto dan Stasiun Kereta Api Tugu). Yogyakarta dikenal sebagai kota pelajar, dan kota budaya; sehingga berpenduduk padat dan jalanan sempit menyebabkan kurang memungkinkan untuk ditambahi beban, kecuali dengan pembenahan aksesibilitas, pemilihan lokasi yang tepat, dan tidak menempati lokasi bangunan tinggalan Belanda. Magelang letaknya di tengah P. Jawa, sering dikenal dengan pakuning tanah Jawa berarti daerahnya mantap. Namun demikian, lokasinya berdekatan dengan Gunungapi Merapi yang masih aktif, sehingga bahaya vulkanik merupakan ancaman. Aksesibilitas dapat didukung dari Yogyakarta dan Semarang. Purwokerto mempunyai kelebihan ketersediaan ruang (lahan) yang masih dimungkinkan untuk pembangunan ibu kota. Aksesibilitas laut dapat terdukung dari pelabuhan Cilacap, sedangkan akses darat dapat dicapai dari Yogyakarta dan Bandung. Transportasi udara perlu dibangun. Gunungapi Slamet mungkin merupakan bahaya, tetapi berdasarkan sejarahnya kurang aktif. Selain itu, terdapat Baturaden sebagai tempat peristirahatan yang layak. Malang mempunyai lingkungan pegunungan yang sejuk, didukung oleh aksesibilitas darat dan udara yang memadai, dan dekat dengan Surabaya. Namun demikian, Malang termasuk kota pelajar dan padat penduduk, jalan di dalam kota umumnya sempit.

Alternatif pemilihan lokasi untuk merealisasikan gagasan pemindahan ibu kota negara tersebut harus tidak menempati kota lama, tetapi harus lokasi baru yang sesuai. Lokasi baru yang terpilih harus dibangun sebagai ibu kota yang mencerminkan jati diri bangsa.

Berdasarkan alternatif lokasi di P. Jawa tersebut, Purwokerto merupakan salah satu pilihan ditinjau dari ketersediaan lahan; kota lain yang disebutkan di atas juga mempunyai kemungkinan untuk dipilih dengan mendasarkan pada kelebihan dan kekeurangan masing-masing. Namun demikian evaluasi tersebut baru dilakukan secara dangkal, perlu dukungan data yang lebit banyak dan akurat. Alternatif tersebut bukan harga mati, baru sebagai wacana lokasi yang diperkirakan layak, masih terbuka bagi masukkan dengan pertimbangan dari sudut keilmuan yang lain. Seandainya alternatif yang terpilih tadi menjadi kenyataan itupun berlaku dalam waktu tertentu, mungkin 50 tahun atau 100 tahun. Dasar pertimbangannya adalah setiap pembangunan ibu kota baru tentu diikuti oleh pembagunan ikutannya, sehingga dalam kurun waktu tersebut ibu kota baru sudah penuh dengan beban baru lagi, sehingga perlu pindah lagi. Dengan azas tersebut ketimpangan antar wilayah dapat dihindari.

Alternatif pemindahan ibu kota negara ke luar Jawa, pilihannya adalah Kalimantan dan Sumatra. Kelebihan dari Kalimantan adalah lokasinya merupakan pusat dari wilayah Nusantara. Lahan masih sangat luas, sehingga dapat menyusun tata ruang ibu kota negara yang sangat ideal. Kelemahannya adalah prasarana dan sarana belum memadai, sebagian besar harus membangun yang baru, berarti biaya mahal. Kelemahan lainnya adalah penyediaan air bersih; kebakaran hutan, banjir dan longsor merupakan bahaya yang perlu dijadikan dasar pertimbangan. Sumatra merupakan alternatif lain, ketersediaan lahan memadai; sebelah barat Bukit Barisan rawan terhadap bencana gempa, sehingga daerah yang sesuai tentunya di sebelah timur Bukit Barisan.

Alternatif pemindahan lokasi ibu kota negara tersebut di atas, baik yang tetap di P. Jawa maupun di luar P. Jawa merupakan embrio pemikiran yang masih perlu didiskusikan secara mendalam. Tentunya masih banyak alternatif lain untuk pemindahan ibu kota negara, mengingat jumlah pulau di Indonesia lebih dari 17.000. Untuk pemilihan lokasi ibu kota perlu peraturan perundang-undangan. Undang-undang tata ruang saat ini sedang digodog di DPR, mudah-mudahan persyaratan ibu kota negara tidak terlewatkan atau terabaikan.

Penutup
1. Negara Kesatuan Republik Indonesia yang telah merdeka hampir genap 62 tahun, ibu kota negaranya (Jakarta) menempati bekas ibu kota penjajah. NKRI belum memiliki ibu kota negara yang merupakan pemikiran dan hasil karya anak bangsa. Jakarta yang sekarang dijadikan sebagai ibu kota negara telah berumur lebih dari 577 tahun, sudah berkembang menjadi metropolitan, mempunyai multi fungsi, dan sarat dengan beban sehingga berdampak pada kondisi ekonomi, sosial, politik, dan ekologis.
2. Ibu kota negara (Jakarta) sebagai simbol kewibawaan negara dan jati diri bangsa saat ini dan masa depan, kurang layak untuk dipertahankan karena sebagai pemusatan kekuasaan dan pemusatan ekonomi banyak menimbulkan KKN, berpenduduk padat, tata ruang sewrawut, kemacetan lalu lintas, berbagai konflik kepentingan, pencemaran, setiap tahun terlanda banjir, dan sanitasi lingkungan kurang memadai. Pemusatan kekuasaan dan kegiatan di ibu kota mempunyai risiko tinggi dalam kondisi kritis (perang) karena ibu kota menjadi sasaran untuk diserang.
3. Pemindahan ibu kota negara (Jakarta) menjadi suatu keharusan, bukan merupakan wacana lagi. Keharusan yang bertenggang waktu, sambil menanti perundangan-undangan tata ruang yang mengatur persyaratan suatu ibu kota negara.
4. Alternatif lokasi pemindahan ibu kota yang pernah muncul sebagai wacana, antara lain: Yogyakarta, Magelang, Purwokerto, Malang, Kalimantan, dan Sumatra. Alternatif lokasi tersebut bukan harga mati, harus didiskusikan secara mendalam. Alternatif lain pun dapat dimunculkan.
5. Dalam menatap ke depan untuk menyongsong NKRI menjadi besar, kuat, dan berwibawa bahwa pemikiran dan gagasan untuk memindahkan ibu kota negara harus terus dikumandangkan, sehingga menjadi realita. Paling tidak terjadi penyebaran pusat-pusat pertumbuhan di seluruh wilayah, sehingga kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia menjadi kenyataan.

Contributed by Prof. Sutikno

Saturday, 14 April 2007

Daftar Bacaan
Anonim. 2002. Banjir Jakarta Sulit Diatasi. Pikiran Rakyat. 19 Oktober 2002
Anonim. 2002. Benang Kusut Ibu Kota Jakarta. Sinar Harapan. 6 Juni 2002
Anonim. 2007. Masih Layakkah Jakarta Jadi Ibu Kota? Jawa Pos. 6 Februari 2007
Baiquni, M. dan Susilowardani. 2002. Pembangunan yang Tidak Berkelanjutan: Refleksi Kritis Pembangunan Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Transmedia Global Wacana
Baiquni, M. 2004. Membangun Pusat-Pusat di Pinggiran. Yogyakarta: Ideas
Jayadinata, Johara T. 1999. Tata Guna Tanah dalam Perencanaan Pedesaan dan Perkotaan dan Wilayah. Bandung: Penerbit ITB
http://en.wikipedia.org/wiki/Capital

*) Ditulis ulang berdasarkan isi Makalah yang dipresentasikan dalam Diskusi Sejarah, Kota dan perubahan Sosial dalam Perspektif Sejarah, yang diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, Hotel Matahari, 11-12 April 2007